Alkisah pada tahun 1607 – 1636 Aceh di pimpin oleh seorang Sultan bernama Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda berhasil merebut Johor pada tahun 1613. Semua pembesar – pembesar Johor termasuk Sultan dan bendahara Tuan Sri Lanang ditawan di Aceh. Akhirnya Sultan Alaudin Riayatsyah III pun mangkat (meninggal) disana. Setelah berhasil merebut Johor, entah mengapa kemudian pimpinan Aceh merubah keputusannya dimana pembesar – pembesar Johor dikembalikan ke negeri mereka, tidak hanya itu pembesar-pembesar Johor malah dilantik kembali oleh Sultan Aceh. Salah satu pembesar Johor yang dilantik adalah Sultan Abdullah. Sultan Abdullah diberi gelar Sultan Abdullah Muaiyatsyah pada tahun 1615 serta dikawinkan dengan adinda Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang bernama Ratna Jauhari,. dengan perjanjian tidak akan memihak kepada Portugis ataupun bersekutu dengan Belanda.
Mampukan Sultan Abdullah Muaiyatsyah melaksanakan atau menepati perjanjian yang telah dibuat dengan Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh) ?
Sudah tentu sangat besar sekali harapan Sultan aceh agar Sultan Abdullah Muaiyatsyah dapat melakukan dan menepati perjanjian tersebut. Namun ternyata apa yang ada dipikiran Sultan Abdullah Muaiyatsyah tidak sama dengan yang ada dipikiran Sultan Iskandar Muda. Sekembalinya ke Johor Sultan Abdullah Muaiyatsyah ingkar janji, sehingga isterinya diceraikannya. Akibat dari perbuatannya inilah Sultan Iskandar Muda menjadi sangat marah. Kemarahan Sultan Iskandar Muda mencapai puncaknya ketika Sultan Johor ke VII itu mengangkat Sultan Abdul Jalil Shah III (Raja Bujang) sebagai Sultan Johor ke VIII pada tahun 1623 - 1677. Raja Bujang adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur) yang sangat tidak disenangi Sultan Aceh. Akibat dari pengangkatan ini pada tahun 1623 Aceh menyerbu kembali Johor serta memusnahkan ibu kota kerajaan yang bernama Sayang Pinang itulah yang dikenal dengan nama Hegemoni Selat Malaka.
Dalam keadaan yang sedemikian gawatnya Sultan Abdullah Muaiyatsyah serta kemenakannya Raja Bujang melarikan diri kearah Lingga, namun pasukan Aceh terus memburu sampai ke pulau-pulau dilaut china selatan yaitu di selat Natuna. Oleh karena terus dikejar oleh orang-orang Aceh. Rombongan Sultan Abdullah Muaiyatsyah terus melarikan diri dari kejaran orang – orang Aceh tersebut. Pelarian rombongan Sultan Abdullah Muaiyatsyah menuju ke arah Kalimantan Utara (Brunai), tujuan Sultan Abdullah Muaiyatsyah ke Brunai adalah hendak menemui saudaranya. Selama dalam perjalanan pelarian, kondisi kesehatan Sultan Abdullah Ma’ayatsyah sudah kritis. Sultan kemudian memanggil dan mengumpulkan para hulu balangnya. Kepada para hulu balangnya Sultan Bersabda jika nanti aku mangkat maka terbangkanlah ayam putih berkaki kuning dan dimana ayam tersebut hinggap terakhir disitulah aku dimakamkan.
Jodoh rezeki dan maut adalah urusan Allah, dan tidak seorangpun tahu kapan maut menjemput, begitu pula dengan seorang Sultan. Perjalan Sultan mungkin sudah ditentukan oleh Allah akan berakhir disini. Sesuai Sabda (perkataan) Sultan, para pengikut atau para hulu balangnya pun melaksanakan perintah tersebut, alkisah sahdan (setelah diterbangkannya) ayam putih berkaki kuning dan dimana ayam tersebut hinggap terakhir maka disitulah Sultan akan dimakamkan. Lokasi diterbangkannya ayam putih berkaki kuning adalah di daerah Tanjung. Sedangkan lokasi pertama ayam tersebut hinggap yaitu didaerah Tanjung Ayam tepatnya di pelabuhan Tambelan, sehingga disebutlah daerah tersebut dengan nama Tanjung Ayam. Kemudian ayam tersebut terbang lagi yang kedua dan hinggap di daerah Batu Hiu dekat aliran sungai (selat), selanjutnya terbang lagi dan hinggap di daerah Bentayan. Oleh karena ayam tersebut tidak terbang lagi, maka daerah terakhir ayam tersebut hinggap, Sultan baru dimakamkan. Dengan telah mangkatnya Sultan dan sesuai dengan Sabde beliau, oleh para pengikutnya kemudian menyebut pulau tempat Sultan Abdullah Muaiyatsyah mangkat tersebut disebut dengan nama Pulau Sabde.